Peran Agung Kaum Hawa
Anak-anakku memanggilnya dengan panggilan ; Mbak. perempuan janda beranak satu itu memang cukup akrab dengan kedua putra-putriku, walaupun belum 3 bulan ia bekerja dirumah kami. Ia memang kelihatan mahir dalam mengurusi rumah sampai menjaga dan merawat anak-anakku, ketika kami bekerja.
Keakrabpan itu terlihat, ketika disore minggu lalu, ia meminta izin untuk menjenguk kakaknya yang sedang sakit, dikampung halamannya, sukabumi. Noel, anakku yang kedua menangis tersedu-sedu ketika melepas kepergiannya.Iaterus memanggilnya dengan penuh haru, mbaaaaaak. Barangkali dalam kehari-hariannya ia sudah menjadi seorang sahabat yang terbaik bagi anakku. Sementara kami berdua sebagai orangtuanya, hanya berbagi pada hari Sabtu dan minggu.
Anakku itu mungkin belum mengerti apa itu pembantu. Kedua anakku cuma tahu ia adalah seorang teman atau sahabat yang setiap rutinitas hari tiap hari sudah saling berbagi keceriaan. Bagiku, dia tetap seorang manusia yang perlu aku hargai keberadaannya. aku menghormatinya sama seperti aku menghormati perempuan disisiku yakni istriku. Seorang ibu sekaligus pelayan. Jika istriku dirumah tentu bersama-sama dengan anak-anak, maka istriku akan menghabiskan sepanjang harinya untuk memenuhi kebutuhan. JIka istriku bekerja, maka ia melakukan tugas pekerjaan rangkap. Berjuta-juta ibu-ibu bekerja diluar rumah untuk menambah penghasilan suami mereka sehingga dapat saling menopang.
Ketika aku ingin berbicara mengenai peran agung seorang perempuan, aku teringat pada ibuku yang sendi-sendi tulangnya kini tak sekuat dulu. Secara fisik ia memang mulai rapuh, namun kekuatan hati dan pribadinya tetap memiliki kekuatan yang agung, sebagai sandaranku ketika ia dulu pernah menimang-nimangku dan kini tetap membantu ketika pernak-pernik persoalaan hidup itu datang.
Kesadaran Gender
Soal perempuan, menyimak berita diseputar kita. Dua sosok perempuan Indonesia kini sedang merebut perhatian publik. Yang satu bernama Manohara Odelia Pinot dan satu lagi Prita Mulyasari. Tragedi Manohara lebih berada pada koridor privat, kekerasan rumah tangga. Sementara tragedi yang menimpa Ibu Prita, lebih mewakili kepentingan umum, manakala tabiat hukum dan penegakkan keadilan di Indonesia teramat sangat kuat berhamba pada yang kuasa dan yang beruang. Bagi saya, tetap saja keduanya adalah korban dari ketidakadilan.
Perempuan kerap dipandang lemah,lembut,harus dilindungi, kurang tegas,emosional, kurang emosional. Jadi hanya pantas melakukan tugas rumah; menyapu, membersihkan rumah, memasak. Sedangkan Laki-laki ? Ia kuat, tegas ,gagah perkasa, rasional, kuat dan pelindung. Jadi ia disebut kepala rumah tangga, adalah bapak atau suami, bukan ibu atau istri; kecuali sang bapak atau suami sudah meninggal.
Keadaan diatas kerap disebut kodrat. Tetapi benarkah itu ? Bagi saya itu bukan. Sebab pembagian diatas tidak mutlak. Ada perempuan yang rasional, teguh, tegas, secara fisik juga kuat dan bisa melindungi. Sebaliknya, ada juga laki-laki yang sangat emosional. Tidak tegas, kurang rasional, secara fisik tidak kuat , malah lemah lembut dan perlu dilindungi. Jadi, itu bukan kodrat.
Kodrat bagi saya adalah suatu keadaan yang sudah begitu dari aslinya; dari Tuhan. Kodrat perempuan tak dimiliki laki-laki dan sebaliknya. Misalnya, organ reproduksi. Perempuan memiliki sel telur dan alat reproduksi yang memungkinkannya untuk haid, hamil, melahirkan dan menyusui. Laki-laki memiliki sel sperma dan organ lain yang memungkinkannya membuahi sel telur. Itulah kodrat. Meski menjalani operasi transgender, laki-laki tetap tidak bisa mengalami haid, hamil, melahirkan dan menyusui.
Akibat kesalahpahaman ini, muncul anggapan bahwa laki-laki (suami) adalah pencari nafkah utama. Kalau ada perempuan (istri) yang bekerja, ia adalah pencari nafkah tambahan. Ia Cuma perlu uang jajan, jadi tak perlu banyak-banyak. Itu sebabnya, dalam posisi dan pekerjaan yang sama, perempuan bisa mendapat gaji lebih rendah. Misalnya, perempuan tidak mendapat tunjangan keluarga. Sudah begitu, dikeluarga perempuan juga jjadi berperan ganda; sebagai ibu dan pencari nafkah. Maka sepulang bekerja, ia masih harus menjalankan tugas rumah tangga. Sedangkan laki-laki, bisa bersantai sepulang kerja.
Lebih parahnya lagi, karena dianggap lemah perempuan bisa diperlakukan sewenang-wenang. Hanya dipandang sebagai objek. Lalu terjadilah pelecehan terhadap perempuan, mulai dari yang ringan, sampai yang terberat seperti pemerkosaan. Yang paling celaka adalah jika ada perempuan yang diperkosa, tetapi ia justru disalahkan karena dianggap menggoda atau mengundang.
Itulah antara lain keadaan yang mendorong orang untuk menyadari adanya kontruksi yang tidak adil. Gender ( baca: jender ) adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural ( Mansour Fakih, analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta , Pustaka Pelajar 1996). Konstruksi sosial yang dibuat oleh budaya masyarakat menempatkan perempuan lebih lemah dan rendah daripada laki-laki.
Dari situ kemudian muncul upaya-upaya penyadaran, agar setiap orang mengubah persepsi dan konstruksi gender. Dalam diri kita dan dalam masyarakat. Ini diharapkan jauh lebih berhasil ketimbang konsep emansipasi yang hanya menyoroti beberapa perempuan yang menduduki jabatan tinggi ( Presiden, Kapolsek , Direktur , Pendeta dsb) atau melakukan pekerjaan berat ( supir bahkan tukang batu).
Padahal secara umum keadaan perempuan tidak lebih baik. Bahkan yang berjabatan tinggi pun masih kerap dilecehkan, apalagi pekerjaan rendah macam buruh. Lihat saja kasus Marsinah. Yang sampai sekarang tak dapat diituntaskan. Ia hanya memperjuangkan apa yang menjadi haknya sebagai manusia juga.
Nurani kita seharusnya terganggu, ketika perempuan kerap dijadikan sie konsumsi (peran domestik) dan kekerasan. Untuk itu, penyadaran gender dapat kita mulai dari komunitas kita yang paling kecil, keluarga. Belajar memiliki persepsi dan upaya untuk mengkomunikasikan hak dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki tanpa terjebak pada konstruksi yang telanjur dibuat oleh masyarakat. Karena Tuhan memang menciptakan hawa untuk berkolaborasi dengan adam , untuk saling berbagi merawat kehidupan.
Pambudi Nugroho