R A W A P A D A

Saling berbagi dan merawat kehidupan

Merekam Romantisme Budaya Penindasan

Theodor Seuss Geisel , pengarang buku cerita anak-anak terkenal , menulis cerita tentang seekor kura – kura bernama Yertle. Yertle adalah raja kura – kura di sebuah kolam yang aman dan damai. Setiap hari ia duduk ditakhtanya , yakni sebuah batu ditengah kolam. Suatu saat ia berfikir ,andai takhtanya lebih tinggi ,tentu ia dapat melihat banyak hal yang indah di luar kolam.

Yertle mendapat akal. Ia memerintahkan sembilan ekor kura – kura untuk saling menaiki panggung, sehingga tersusun tinggi keatas. Lalu ia naik kepunggung kura – kura paling atas dan melihat pemandangan yang luas dari tempat tinggi. Mack , si kura – kura yang berada paling bawah ,mengeluh kesakitan.

Namun , Yertle tidak peduli. Ia terus memerintah supaya jumlah kura – kura yang bertumpuk ditambah. Sampai akhirnya , jumlah kura – kura yang bertumpuk adalah 5.816 ekor. Ketika itulah Mack bersendawa. Lalu bergoyanglah kura – kura lain diatasnya. Akibatnya , Yertle yang berada diketinggian jatuh terperosok kedalam Lumpur dan mati.

Yertle , siraja kura – kura yang akhirnya mati , agaknya mau mengisyaratkan dan mengkritisi di jagat ini. Ketika konteks kekuasaan tak pernah lepas dari sebuah posisi atau kedudukan penting didalam komunitas dunia kita sehari – hari. Sebagai insan didalam komunitas yang besar , berwarga negara maupun dikomunitas yang paling terkecil yaitu keluarga.

Lahirnya Budaya Menindas

Pada saat kita menerima sebuah kekuasaan untuk memerintah dan memimpin , sebagai kepala pemerintahan , kepala perusahaan , kepala RT ataupun kepala rumah tangga. Jika  kekuasaan itu sebagai titipan Tuhan yang harus dipertanggungjawabkan , tanpa dibentengi oleh iman yang teguh maka kecenderungan kita selalu pada keinginan untuk selalu berada posisi puncak. Keinginan hati yang selalu ingin menang , serakah dan tak lagi mampu untuk mensyukuri pada hasil yang sudah diperoleh , pada akhirnya sadar atau tidak akan melahirkan sebuah penindasan.

Dalam hal menindas , bangsa yang konon sangat ramah ini sebenarnya memiliki hutang sejarah yang belum terbayarkan. Klaim kampanye caleg dan capres pun hanya bertumpu pada persoalan kemajuan klasik seperti ekonomi , pendidikan yang murah ataupun BBM saja. Nyaris tak ada yang bicara soal penindasan dinegeri ini. Seolah – olah untuk mengungkapkan kebenaran akan hal penindasan, agaknya sudah menjadi budaya bisu. Lihat saja kasus kerusuhan mei, tanjung priok , malari, operasi militer di aceh , kasus Dili ataupun nasib Munir sang pembela hak asasi manusia. Entah , bagaimana harus menjelaskan kepada anak – anak kita yang mulai kritis ini. Apakah kita harus ikut “bisu” ketika gejala penindasan sudah menjadi budaya dalam berbangsa dan bertanah air.

Saya teringat waktu masih dibangku SMA,  kami murid – murid bersama Guru menonton bersama di bioskop. Film itu berjudul : Penumpasan G 30 S/PKI. Sebuah kisah perjalanan kepahlawanan seorang Bapak , seorang Ayah yang memiliki anak – anak juga , yang akhinya menjadi Raja. Pada masa itu , saya tentu teramat mengagumi sepak terjangnya dalam pembangunan. Saking hebatnya , kisah itupun masuk kedalam kurikulum sekolah diseluruh negeri. Bukan main , ternyata kisah itu adalah sebuah skenario usang yang penuh dengan kebohongan. Kisah itu memang sengaja dibuat agar dapat meracuni dan membuat buta bagi sang penerus bangsa , ketika penindasan akan menjadikan kita seperti makanan 4 sehat 5 sempurna.

Salah satu mainan favorit putra saya yang masih berumur 3 tahun , Dinosaurus besar yang memakan kadal kecil serasa menggelisahkan hati saya , ketika budaya penindasan tak ubahnya seperti radiasi nuklir yang menakutkan. Anak saya itu tentu tahu, bahwa yang harus dimakan adalah binatang yang paling kecil atau lemah. Karena setiap bermain , selalu saja kadal plastik tersebut dimasukkan kedalam mulut Dinosaurus.

10042009152

Kewaspadaan media , perlu dilakukan sebagai orangtua untuk mengedepankan masalah yang timbul melalui proses dialog. Membiasakan komunikasi , adalah alternative yang akurat untuk menghindari lahirnya karakter penindasan. Karena yang berbahaya adalah jika gejala lahirnya penindasan justru tercipta dari komunitas kita yang paling kecil yaitu keluarga. Sebelum menjadi pemimpin bagi orang lain diluar , keluarga menjadi sentral utama pembentukan seorang pemimpin yang adil yang tidak menindas bagi sesamanya.

Pambudi Nugroho – diminggu sore 12 April 2009

Single Post Navigation

Tinggalkan komentar